Monday, February 11, 2013

1ST XINGHAI PRIZE INTERNATIONAL CHOIR CHAMPIONSHIPS (Part 1)



FROM ZERO TO HERO

 
Tidak ada kata yang PAS selain Kalimat di atas "From Zero To Hero" untuk menggambarkan Kualitas dan Prestasi yang dialami oleh Mercu Buana University Choir atau Paduan Suara Mahasiswa Universitas Mercu Buana. Semua Proses yang kami lakukan seems like "Depressing yet Beautiful". Banyak duka, dan tidak sedikit suka. Tangis, keringat, letih, luka, amarah, kesedihan, kesenangan, semua kami rasakan sepanjang proses menuju
1ST XINGHAI PRIZE INTERNATIONAL CHOIR CHAMPIONSHIPS.

Perjalanan inilah yang saya rasa harus saya bagi kepada teman-teman semua. Perjalanan ini pula yang menjadi tempat saya berlatih menggunakan kemampuan Bahasa Inggris saya seperti yang saya katakan pada postingan saya sebelumnya tentang Minimum TOEFL Score. Tetapi, itu hanya sebagian kecil dari pengalaman saya bersama dengan Paduan Suara Universitas Mercu Buana (PSM UMB) selama di Guangzhou, China.


THE DECISION
Bagaimana awalnya kami bisa mengikuti kompetisi tersebut ??

Sebelumnya PSM UMB seringkali mengikuti kompetisi yang skalanya Regional seperti National Folklore Festival yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi UI. Dan Puji Tuhan, di kompetisi tersebut kami selalu mendapatkan posisi. Juara 3 pada tahun 2008. Juara 2 pada tahun 2010, dan terakhir Juara 1 pada tahun 2011 (Slowly But Sure :D). Kemudian di tahun berikutnya, yakni pada 2012. Kami mencoba mengikuti Kompetisi Paduan Suara yang skalanya lebih tinggi, yaitu tingkat Nasional. Jika mengikuti Program Kerja Kepengurusan (kebetulan saya Ketua Umum pada saat itu. hehehe), seharusnya kami mengikuti FPS ITB XXIII. Namun, sayang sekali. Event tersebut bentrok dengan jadwal UAS kami. :( :( :(
Setelah otak-atik Om Google. Kami temukan sebuah kompetisi Nasional yang diadakan oleh Universitas Semarang. Yaitu Lomba Paduan Suara Universitas Semarang ke-7 (LPS USM 7). Setelah melalui serangkaian diskusi dengan Pelatih dan pembina kami, maka kami putuskan untuk mengikuti kompetisi ini. (Nanti akan saya ceritakan secara detil mengenai perjalanan menuju LPS USM 7 yang saya yakin akan membuat kalian Terkesima akan usaha kami).
Singkat cerita, selama kurang lebih 5 hari kami berada di Semarang dan berkompetisi. Bertemu dengan Choir-choir yang berasal dari berbagai daerah dan karakter bernyanyi. Mental kami cukup teraduk-aduk. Tetapi siapa sangka, untuk 2 kategori yang kami ikuti (Mixed Choir dan Folklore). Kami mendapatkan Juara Pertama. Sehingga kami menerima Trophy Juara Umum yang sebelumnya diraih oleh Paduan Suara Unika Atmajaya Jogjakarta. Saya dan Pelatihpun naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan tersebut.
 
 

-dari kiri ke kanan- 
Amillio Fahlevi (Asisten Pelatih)
Saya (Ketua pada saat itu), dan
Agus Yuwono (Pelatih tercinta ^^)
 
Kemenangan inilah yang membawa Rektor kami yaitu Bapak Arissetyanto Nugroho menelpon saya dan pada saat itu juga menantang saya untuk mengikuti Kompetisi tingkat International di Cina.
Dengan kondisi masih 'bergetar' karena saking senangnya, saya pun menyanggupi. Dan tanpa basa-basi Sang Pelatih kamipun menyanggupinya.
Inilah awal perjalanan kami mengikuti kompetisi Paduan Suara International.
1ST XINGHAI PRIZE INTERNATIONAL CHOIR CHAMPIONSHIPS.


THE PROCESS
Berapa besar pengorbanan yang telah dilakukan ??

Pelatih kami melakukan Audisi yang dari 70 orang anggota PSM UMB, diperkecil menjadi 37 orang saja. Terbentuklah tim dengan komposisi 11 Sopran, 9 Alto, 9 Tenor, 8 Bass (saya berada pada suara Bass. hehehe). Penguruspun membentuk Kepanitiaan. Dan saya, yang menjadi Project Officer pada saat itu cukup dibuat pusing dengan berbagai Term dan Condition yang ditawarkan oleh Panitia. Seringkali saya mengalami Miss communication, baik dengan Panitia yang mengharuskan saya membuka translator berkali-kali (gak jago banget Englishnya. hehehe), dengan Bapak Rektor (yang telah membantu banyak kemudahan mecari sponsor), Panitia saya yang senantiasa tegar menghadapi "Ketidakpastian" (karena sempat tercetus dari pelatih, bahwa kami dianggap belum siap mengikuti kompetisi tersebut. hiks hiks hiks), dan dengan para dosen kami yang seringkali kecewa karena kami harus dispensasi kuliah demi Latihan.
Tetapi sekali lagi, Bapak Rektor kamilah yang selalu memberikan kami pembelajaran untuk tetap bertahan pada keputusan baik yang sudah diambil. Dengan giat kami kesana kemari mencari sponsor dan latihan yang dilakukan SETIAP HARI.
 
Senin, Rabu, Jumat untuk Latihan Vocal. Selasa, Kamis untuk latihan Koreografi. Semua dimulai pada pukul 19.00 (waktu dimana seluruh anggota sudah tidak ada kuliah) dan diakhiri pada pukul 22.00 bahkan hingga 23.00 jika Sang Pelatih tercinta merasa belum puas. Bisa dibayangkan bagaimana kesibukan kami ? bahkan keesokannya kami harus kuliah jam 08.00 pagi. Berbulan-bulan kami lakukan proses seperti ini.

Atas restu orang tua kami, kampus, dan Tuhan. Kamipun siap mengadu peruntungan dan pengorbanan kepada masyarakat Paduan Suara dari belahan dunia dalam sebuah kompetisi international di China. Doakan kami Kawan..... dan tuntun kami Tuhannnnn..... :)



Saya kira, harus berlanjut di tulisan berikutnya nih... hehehehe
(thanks yang sudah baca....^^)

Saturday, February 9, 2013

Minimum TOEFL Score

HOW COULD YOU KNOW YOUR SKILL IF YOU NEVER USE IT REGULARLY

Kalimat di atas menjadi keseluruhan makna yang bisa diambil dari tulisan saya ini.
Banyak sekali mahasiswa yang mengeluhkan peraturan di kampus saya, yang mengatakan bahwa
"Khusus Angkatan 2009 DIWAJIBKAN menempuh TOEFL Score Minimal 450. Jika tidak mencapainya, Tidak akan Dipersilakan untuk Magang" (Saya kuliah di Universitas Mercu Buana Jakarta)
"WHAT THEEE .... !!!",
"ARE YOU KIDDING MEEEE ???", 
"AHHHH... SHHH***TTTT!!", Itu beberapa 
ekspresi temen-temen saya. 
Sebagian ada juga yang berekspresi seperti ini

"BAGAIMANA MUNGKIN INI BISA TERJADI ??" atau 
"AKU GAK TAU HARUS BERBUAT APA LAGII !!" atau ini.. 
"SEBAIKNYA AKU PULANG KE RUMAH DAN BERSHOWER..." 
Duhhh...


Sekarang gini yaa, 
Gadget yang kalian kenakan aja menggunakan Bahasa Inggris, Film Kesukaan selalu Film Asing (kalo nonton Film Indonesia katanya "ANTI"), kemudian kurang lebih 6 tahun belajar Bahasa Inggris di SD, 3 tahun di SMP, dan 3 tahun di SMA (Total 12 Tahun). Masa iya kemampuan Bahasa Inggris kita gitu-gitu aja ? Masa kalian tega membuang uang dan waktu hidup kalian selama 2 jam belajar bahasa Inggris seminggu, 8 jam sebulan, 80 jam setahun, dan 960 jam selama 12 tahun. Bayangkan teman-teman... 960 jam waktu yang kalian buang untuk belajar bahasa Inggris. Tapi mana hasilnya ?? yaaaa.... GAK TAHU. Soalnya kan gak pernah dicoba kemampuannya sejauh apa. hehehehe

No Offense.
Kalo menurut saya sih, kembali ke diri kita terlebih dahulu. Gak perlu bertanya-tanya
"Kenapa sih Bahasa Inggris tuh Susah ?"   "Kenapa sih pada saat ngomong Bahasa Inggris jadi gagu ?"
BullSh*t Guys... Seharusnya, yang perlu ditanyakan kepada diri sendiri adalah
"Kapan sih gue gak males berlatih?", "Kenapa sih gue gak Fokus dari dulu ?"

Oke. Ever Onward but Never Retreat.
 Jadi yang lalu biarlah berlalu. Dan jangan lakukan ke'malasan yang sama. Kalo teman-teman sekaran sudah merasa bahwa Bahasa Inggris itu PENTING. Pelajari !! dan Latihlah.. Karena percuma saja jika sudah belajar, tetapi tidak berani meng'aplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Khususnya untuk teman-teman saya yang akan menempuh semester 8 dan menempuh mata kuliah SKRIPSI (which is Peraturan Kampus di atas sangat berlaku dong..). Coba untuk Tidak Malu mengucapka kalimat-kalimat inggris dimanapun itu. Baik Status FB, Twitter Update, Personal Message BBM, Statuss Google+, Tugas, hingga berbicara dengan teman. Gak perlu PERFECTLY, tapi REGULARLY.
Apalagi setelah lulus nanti, kemampuan bahasa inggris akan menjadi salah satu syrata mutlak untuk melamar pekerjaan, khususnya di Perusahaan Multinasional.


LET'S START WITH YOUR MIND
Dengan menganggap Penting sesuatu, saya yakin teman-teman akan melakukannya dengan ikhlas, tekun, dan teratur. Agar Pemuda-pemudi Bangsa kita semakin berkembang dan bertambah rasa kepercayaan dirinya untuk berbahasa asing di tengah tuntutan zaman yang serba Global dan Universal.

Nanti saya akan menceritakan pengalaman yang tak terlupakan yang pernah saya alami seumur hidup saya. Yang tentunya berhubungan dengan Berbahasa Inggris dengan Teratur.


Terimakasih untuk yang sudah membaca. Cheersss ^^

Thursday, February 7, 2013

ETIKA PARIWARA INDONESIA

Hari ini, Saya akan coba menshare sebuah Penelitian kecil mengenai Etika Pariwara Indonesia, Kebetulan saya adalah Mahasiswa Advertising di Universitas Mercu Buana Jakarta.

Penelitian kecil ini diberi judul 


Saran Penyempurnaan Panduan Etika Periklanan Terkait Penggunaan Tokoh Politik Dan Tokoh Agama
Dalam Iklan Komersial
(Tugas Mata Kuliah Etika Periklanan)
 
Isi dari penelitian ini, kurang lebih mengenai Iklan-iklan yang kerap kali menggunakan Tokoh Politik dan Tokoh Agama sebagai endorsernya. Pengiklan cenderung tidak memahami apakah masyarakat yang notabene adalah bagian dari Etika merasa suka atau tidak suka, dalam konteks Beretika dalam Iklan. 





BAB I
Perkembangan Periklanan Indonesia

            Advertisiment (Iklan) adalah faktor kunci dalam pemasaran. Dengan hanya menempatkan produk di pasar tidak menjamin pelanggan membelinya. Produsen / perusahaan tentu harus membuat iklan agar produk dikenali dan akrab bagi pembeli dan agar produk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Hal ini sangat diyakini oleh para pakar marketing dan produsen. Membuat mereka merasa masih sangat membutuhkan adanya iklan, khususnya dalam pembentukan awareness.
            Terkait hal tersebut, ini merupakan peluang besar bagi media massa untuk mendapatkan penghasilan yang sebanyak-banyaknya dari perkembangan dunia pariwara itu, demikian terungkap dalam "Asia Pacific Media Forum (APMF)", di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/6). Semakin membesarnya belanja iklan ini bisa diamati dari semakin penuhnya slot iklan di berbagai program acara televisi. Fenomena lain yang membuktikan semakin membesarnya belanja iklan adalah tumbuhnya berbagai iklan luar-griya yang didirikan di berbagai lokasi laksana jamur di musim hujan.
            Hal ini juga dapat dilihat dari banyaknya biro iklan dunia yang ikut bermain di Indonesia dengan menggarap produk-produk multinasional. Kehadiran biro iklan dunia ini bisa memberikan dampak positif jika bisa bekerjasama dengan biro iklan lokal dalam membuat suatu kreatif iklan. Kehadiran biro iklan dunia juga bisa memberikan kontribusi positif dalam hal pengembangan komunikasi periklanan yang baik dan juga strategi kampanye global atau internasional.
            JWT Jakarta, Hakuhodo Indonesia, BBDO, Lowe Indonesia, merupakan nama-nama agency periklanan dunia yang telah mendirikan perusahaannya di Indonesia karena dinilai potensial dalam hal belanja iklan. Kemudian dengan adanya Kompetisi Periklanan Kreatif seperti Citra Pariwara, Phinastika, AdFest, dll menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap dunia kreatif iklan di Indonesia belakangan ini. Dengan banyaknya peserta dari puluhan advertising agency yang mengentry atau mendaftarkan karya iklan mereka, membuktikan bahwa dunia periklanan di Indonesia mampu bersaing dan penuh kejutan.
            Yang dikhawatirkan adalah, produsen atau perusahaan produk dan jasa di Indonsia, belum mau menggunakan advertising yang terlalu implisit seperti yang ada dalam kompetisi-kompetisi di atas. Mereka menganggap bahwa khalayak di Indonesia belum mampu menerima iklan seperti itu, karena susah dimengerti, butuh kejelian, dan butuh berkali-kali untuk menontonnya. Lantas, iklan-iklan yang telah mendapatkan banyak penghargaan sekalipun, belum tentu digunakan terus-menerus oleh produsen. Dan ditayangkan di media massa, hanya sebagai persyaratan untuk mengikuti kompetisi saja. Padahal seharusnya, iklan yang baik adalah iklan yang kreatif dan dapat meningkatkan keuntungan atau profit. Seperti yang dikatakan David Ogilvy “If it doesn’t sell, it is not creative”.
            Selain itu, perkembangan periklanan di Indonesia mungkin saja terjadi pada perubahan media, yakni Internet. Sejak awal tahun 1990an, masyarakat indonesia telah memulai media baru ini. Tetapi meski demikian, hingga mendekati tahun 2010an, penetrasi beriklan di internet masih belum kuat di Indonesia, para pemasang iklan masih terbatas pada pengusaha di bidang internet seperti toko online, usaha hosting, game online, software developer dan affiliate marketing.
            Indonesia selalu menduduki peringkat atas sebagai negeri dengan pengguna perangkat jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter di dunia. Data terakhir menyebutkan tak kurang dari 35 juta penduduk Indonesia menggunakan Facebook dan 5 juta menggunakan Twitter. Dari jumlah pengguna media digital tersebut, pemerhati periklanan memperkirakan potensi pasar e-commerce yang bisa digarap mencapai 180 miliar rupiah. Hanya saja, sampai saat ini, belum sampai 5 persen yang sudah tergarap.
            "Nah, itu kan peluang pasar yang masih sangat besar dan sebenarnya nilai potensialnya jauh dari angka perkiraan itu, mungkin bisa sampai 500 miliar bahkan lebih," demikian terang Ketua DPD Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia(P3I) DIY, Eddy Puryanto, kepada wartawan, akhir pekan lalu, di Yogyakarta.
            Jika kita memperhatikan, sebenarnya insan marketing di Indonesia telah mulai melirik internet sebagai salah satu cara beriklan. Namun, cara beriklan yang digunakan masih terfokus pada tiga cara yakni :
1. Berpindah dari trend offline ke online, yakni memfokuskan pada media.
2. Beriklan di facebook atau social network semacamnya.
3. Beriklan di google adsense / google adwords yang mayoritas ditujukan untuk segmen pasar internet Indonesia yang kurang menguasai bahasa Inggris.
            Namun, melihat perkembangan teknologi yang ada, tidak menutup kemungkinan internet menjadi sasaran “pusat periklanan” yang berkembang di pasaran, mengingat iklannya memungkinkan 24 jam (tidak ada batasan waktu), berbeda dengan iklan TV yang memiliki regulasi pada waktu penayangannya. Dan juga pangsa pasar pelanggan yang semakin hari semakin banyak menggunakan internet.
            Oleh sebab itu, tentu harus ada perundangan atau regulasi yang mengatur  periklanan di Internet agar iklan yang disampaikan dapat berkualitas, bersifat mendidik, memberikan penawaran yang baik terhadap masyarakat, dan tepat sasaran. serta pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
            Kedua gambaran perkembangan periklanan di atas, seyogyanya dapat dijadikan motivasi buat kita untuk dapat terus berkarya dalam bentuk kampanye iklan dengan kreatifitas tinggi, serta dapat meningkatkan profit. Pembuatan regulasipun harus lebih menggunakan hati, agar tujuan peraturan dan perundang-undangan nantinya dapat diamalkan bukan hanya sebagai syarat tayang, tetapi untuk kepentingan kita bersama.





BAB II
Penggunaan Tokoh Politik dan Agama dalam Iklan

            Pertumbuhan industri periklanan tak pelak mengiringi belanja iklan yang semakin membesar. Berbagai biro iklan dan industri yang berelasi dengannya seperti rumah produksi, percetakan dan sejenisnya tumbuh subur bukan hanya di Jakarta sebagaimana yang terjadi di beberapa dekade yang lalu, namun menyebar ke berbagai daerah.
            Sayangnya antusiasme pelaku industri periklanan dalam penegakan etika ranah periklanan Indonesia yang juga masih belum menggembirakan. Ini bisa dilihat dari maraknya pelanggaran Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang telah diratifikasi oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sebagai standar etika dalam dunia periklanan Indonesia dan telah diakomodir oleh berbagai asosiasi yang berada dalam ranah periklanan.
            Melaksanakan etika periklanan, sebagaimana yang telah diatur melalui EPI, merupakan kewajiban moral yang bersifat mutlak. Untuk membuktikan pernyataan ini, kita bisa menggunakan pendekatan etika yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman yang terkenal di masa abad pencerahan yang hidup tahun 1724 – 1804 M, dan Max Scheler, filusf Jerman abad 20 yang terkenal dengan pandangannya tentang etika nilai.
            Menurut Immanuel Kant kewajiban moral bersifat mutlak, artinya tidak dapat ditawar-tawar. Dari pengandaian Immanuel Kant ini, Max Scheler menarik kesimpulan bahwa perbuatan dinilai secara moral apabila dilakukan murni sebagai kewajiban. Jadi bukan materi kewajiban yang menentukan , melainkan bentuk atau formanya yaitu bahwa ia merupakan kewajiban (Suseno,2000:34). Dari sini bisa dikontekstualisasikan bahwa kewajiban menaati EPI dalam praktek periklanan di dunia praktis bernilai secara moral bukan karena merupakan kewajiban, melainkan merupakan kewajiban karena bernilai secara moral. Bagaimanapun juga yang terpenting dari salah satu usaha memajukan dunia periklanan Indonesia adalah kesadaran moral untuk menaati EPI tanpa terkecuali.
            Lalu bagaimana dengan penggunaan Tokoh Agama, dalam hal ini Ustadz dalam Iklan? Fenomena komodifikasi agama juga terlihat jelas dengan adanya beberapa iklan komersial yang dibintangi oleh ustadz. Secara hukum halal-haram memang tidak ada ketentuan yang membolehkan atau melarang ustadz menjadi bintang iklan. Nabi Muhammad pun tak pernah melarang ustadz menjadi bintang iklan. Tetapi agaknya ada nilai-nilai kepatutan yang perlu dipertimbangkan secara lebih mendalam ketika ustadz menjadi bintang iklan komersial.
            Kita yakin para ustadz yang menjadi bintang iklan mempunyai alasan-alasan pembenaran ketika memutuskan menjadi bintang iklan sebab mereka orang-orang yang berilmu. Kita juga memahami bahwa mereka juga manusia biasa yang ingin mendapatkan materi dari apa yang mereka lakukan dan mereka juga ingin populer di mata masyarakat. Tetapi publik mempunyai hak untuk memaknai keberadaan ustadz sebagai bintang iklan sebab keberadaan ustadz dianggap sebagai publik figur.
            Diri ustadz tidak lagi milik dirinya sendiri atau keluarganya. Ketika seseorang memutuskan dirinya sebagai seorang ustadz maka dirinya menjadi milik umat atau publik sehingga publik mempunyai hak untuk “mengatur” dan memberikan tafsiran terhadap segala sesuatu yang dilakukannya. Publik tidak hanya memahami kata-kata yang disampaikan ustadz tetapi yang lebih penting bagi publik adalah perilaku kehidupan ustadz sehari-hari, sebab agama itu tidak hanya kata-kata tetapi juga perbuatan.
            Peran dakwah yang dimainkan ustadz tidak bisa dipisahkan dari kehidupan pribadinya. Publik memandang ustadz sebagai role model atau panutan bagi umat. Bahkan ustadz dianggap simbol kebenaran dan kesucian, sehingga publik menginginkan seorang ustadz benar-benar terjaga dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai religiusitas. Jika demikan apa maknanya jika ustadz menjadi bintang iklan di mata publik?
            Pertama, jika ustadz menjadi bintang iklan komersial maka semakin memperkuat justifikasi terhadap komodifikasi agama sebab ustadz sebagai tokoh agama membiarkan dirinya dijerat oleh kekuatan materi. Label ustadz dan simbol-simbol religiusitas yang ditampilkan dalam iklan komersial memperburuk citra ustad yang bersifat komersial di mata masyarakat. Padahal agama mengajarkan bahwa kekuatan materi tidak boleh mengatur hidup manusia. Motif materi dikhawatirkan akan menodai kesucian dan kebenaran yang disampaikan ustadz. Dari sisi industri periklanan, pilihan sosok ustadz sebagai bintang iklan sangat potensial sebab ustadz itu mempunyai pengikut, penggemar, dan umat yang cenderung bersifat emosional dalam memandang ustadz. Nilai jual ustadz sangat tinggi dalam industri periklanan. Sehingga diasumsikan pengikut ustadz akan secara emosional pula membeli produk yang diiklankan oleh ustadz.
            Kedua, ustadz dianggap tidak lagi hadir untuk semua umat. Publik mengharapkan ustadz itu dapat diterima oleh semua kelompok agar kehidupan masyarakat terasa lebih aman. Tetapi bila ustadz menjadi bintang iklan maka ia dipandang pro terhadap produk tertentu yang diproduksi oleh kelompok tertentu. Ustad menjadi tidak netral lagi dan tidak bisa memandang objektif kehidupan ini.
            Ketiga, bahaya popularitas. Adalah wajar ketika seorang ustadz ingin menjadi ustadz yang terkenal dan populer. Namun popularitas jangan menjadi tujuan utama seorang ustad sebab itu sangat berbahaya bagi diri ustad dan public. Dalam dunia budaya populer, popularitas akan berkaitan langsung dengan nilai jual. Semakin populer seorang bintang iklan maka akan semakin tinggi nilai jualnya. Sehingga semakin populer seorang ustadz maka akan semakin tinggi nilai jualnya sebagai bintang iklan sekaligus sebagai seorang ustadz. Akibatnya, keluar pula istilah ada tarif tertentu jika kita ingin mengundang ustad yang terkenal.
            Popularitas juga sangat berbahaya bagi ustadz sebab popularitas bisa membutakan mata hati untuk melihat kebenaran. Popularitas juga bisa merusak esensi dari dakwah sebab para ustadz yang gila popularitas lebih cenderung untuk menjaga popularitas dengan retorika-retorika tertentu dari pada berpikir secara substantif untuk menyampaikan kebenaran kepada publik.  
            Kemudian, tentang artis yang terjun ke dunia politik dan tak berapa lama, menjadi model sebuah iklan komersial. Apa hubungan para bintang ini dengan dunia marketing? Tentu saja ada karena ada banyak di antara mereka yang terlibat dalam strategi pemasaran berbagai macam produk. Terutama, sebagai endorser suatu merek atau menjadi talent dalam iklan. Memang, belakangan ini, ada sejumlah merek yang menggunakan tokoh artis yang sekarang juga berpolitik. Misalnya Adjie Massaid yang menjadi talent Sunco, produk minyak goreng, dan Dede Yusuf di iklan motor merek Suzuki.
            Pertanyaan selanjutnya, apakah dampak yang muncul ketika para artis-politikus ini menjadi bintang iklan sebuah produk? FX Ridwan Handoyo Ketua Badan Pengawas Periklanan PPPI dengan tegas menggaris bawahi bahwa hingga sekarang ini tidak ada aturan yang dilanggar oleh artis yang terjun ke dunia politik, lalu menjadi bintang iklan. “Apa yang dilakukan mereka tidak melanggar kode etik satu pun yang ada dalam kitab Etika Pariwara Indonesia,” jelasnya.
            Selain aturan dalam Etika Pariwara Indonesia, negara ini juga belum punya regulasi khusus mengenai pejabat publik yang menjadi iklan produk. Sehingga, seorang presiden pun boleh semasa masih mengatasnamakan pribadi. Tapi, kalau membawa jabatan itu sudah bisa disebut iklan politik—bukan produk—dan tidak etis. Karena itu, konsumen harus bisa dengan jelas melihat apakah iklan tersebut iklan komersil atau iklan politik. Ia justru mengingatkan bahwa yang jelas dilarang itu adalah orang dengan profesi tertentu menjadi bintang iklan. Misalnya, profesi dokter yang sangat terikat dengan sumpah profesi. “Karena profesi mereka melekat seterusnya. Tidak seperti politikus yang bisa keluar-masuk dunia politik semaunya.”
            Lalu, benarkah sudah tidak ada masalah sama sekali? Menurut Ridwan Handoyo pemilihan artis-politikus tentu akan membawa risiko lebih besar. Sebenarnya, risiko ini pun berlaku pada semua tokoh yang dipakai sebagai bintang iklan. Karena bisa saja tokoh yang tidak berpolitik image-nya jatuh lantaran masalah pribadi. Namun, pada artis-politikus risikonya menjadi lebih besar karena selain dilihat sebagai individu, juga akan dikaitkan dengan partainya.
Penjabaran di atas menggambarkan bahwa sebenarnya tidak ada pelanggaran yang dilakukan iklan dalam menggunakan Profesi Tokoh Agama dan Tokoh Politik sebagai endorser mereka. Namun, hal tersebut menjadi tidak etis karena masyarakat mampu terhipnotis dengan apa yang disebutkan atau dipersuasifkan tokoh-tokoh tersebut untuk menggunakan produk yang mereka iklankan. Terlebih dengan adanya kelompok tertentu yang “fanatik” dengan tokoh Agama ataupun Politik bersangkutan. Menjadi sebuah kepentingan pribadi dan bahkan kecurangan dalam persaingan produk.
Maka, perlu adanya amandemen, atau pengembangan lebih lanjut tentang isi Kitab Etika Pariwara Indonesia. Khususnya tentang penggunaan tokoh politik dan tokoh Agama. Agar panduan etika beriklan tersebut tidak hanya sebagai kewajiban pra syarat tayang, tetapi lebih menyadarkan hati nurani kita.
 





 
BAB III
Hasil Penelitian

            Dalam penelitian ini, kami membuat sebuah kuesioner yang mudah dimengerti dan dapat dikerjakan oleh siapa saja. Dari kacamata masyarakat awam. Kami mengategorikannya ke dalam tiga bagian pada kuesioner tersebut. Pertama adalah Introduction, dimana hasilnya akan merujuk pada seberapa sering koresponden memperhatikan iklan. Kedua adalah Problem Insight 1, dimana hasilnya akan merujuk pada pengetahuan khalayak tentang masalah pertama (Tokoh Politik). Dan terakhir adalah Problem Insight 2, dimana hasilnya merujuk pada pengetahuan dan saran koresponden terhadap masalah kedua (Tokoh Agama).
            Dari total sebanyak 25 koresponden yang kami miliki, yang terdiri dari 11 orang Praktisi Marketing/Advertising dan 14 orang Masyarakat dan mahasiswa. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Ini merupakan hasil jumlah pemilih untuk
1 : Tidak tahu             2 : Tidak setuju          3 : Setuju                    4 : Sangat setuju

INTRODUCTION
NO
Indikator
1
2
3
4
1
Anda pernah memperhatikan iklan di Televisi
0
2
13
10
2
Anda pernah memperhatikan iklan di media cetak
0
2
13
10
3
Anda sadar bahwa billboard, bus, halte, umbul-umbul, balon udara, dll adalah media-media untuk beriklan
0
0
8
17
4
Anda tertarik, ketika konsep beriklannya sangat kreatif
0
0
11
14
5
Anda tertarik, saat endorser/model iklan tersebut adalah orang yang sangat Anda kenali/sukai
0
4
16
5

PROBLEM INSIGHT 1
NO
Indikator
1
2
3
4
3
Anda sadar pernah melihat tokoh politik membintangi iklan komersial produk makanan
2
8
8
7
4
Kehadiran tokoh politik dalam iklan komersial tsb membawa dampak POSITIF terhadap keprofesiannya
3
17
4
1
5
Kehadiran  tokoh politik dalam iklan komersial tsb membawa dampak NEGATIF terhadap keprofesiannya
4
9
12
0
6
Kehadiran tokoh politik dalam iklan komersial tsb membawa dampak POSITIF terhadap penonton
11
9
5

7
Kehadiran tokoh politik dalam iklan komersial tsb membawa dampak NEGATIF terhadap penonton
4
8
7
6
8
Tokoh politik harus netral terhadap persaingan produk
1
0
8
16
9
Penggunaan Tokoh Politik dalam iklan komersial produk dinilai tidak etis
2
4
16
3


PROBLEM INSIGHT 2

NO
Indikator
1
2
3
4
1
Anda mengenali tugas dan pekerjaanTokoh Agama
0
0
16
9
2
Anda sadar pernah melihat Tokoh Agama membintangi atau bertestimoni dalam iklan komersial produk
3
10
9
3
3
Kehadiran Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb membawa dampak POSITIF terhadap keprofesiannya
5
13
7
0
4
Kehadiran Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb membawa dampak NEGATIF terhadap keprofesiannya
3
8
12
2
5
Kehadiran Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb membawa dampak POSITIF terhadap penonton
4
14
7
0
6
Kehadiran Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb membawa dampak NEGATIF terhadap penonton
3
14
7
1
7
Orang yang taat agamanya, seperti terdoktrin dan sangat percaya dengan  perkataan Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb
3
5
16
1
8
Tokoh Agama harus netral terhadap persaingan produk
3
4
13
5
9
Penggunaan Tokoh Agama dalam iklan komersial produk dinilai tidak etis
4
9
10
2


Dari penjabaran kuesioner di atas, kami menganalisia semua jawaban ke dalam beberapa kategori. Sehingga kami mendapatkan delapan point penting yang kami susun dalam bentuk diagram. Yaitu :

1.    Karakter koresponden
92 % Koresponden tertarik dan memperhatikan iklan
8 %   kurang memperhatikan iklan.



2.    Apakah kehadiran tokoh politik sebagai endorser iklan komersial membawa pengaruh negatif terhadap profesinya ?
16 % koresponden menjawab Tidak Tahu
36 % koresponden menjawab Tidak Setuju
48 % koresponden menjawab Setuju



3.    Apakah kehadiran tokoh politik sebagai endorser iklan komersial membawa pengaruh negatif terhadap penonton ?
16 % koresponden menjawab Tidak Tahu
32 % koresponden menjawab Tidak Setuju
28 % koresponden menjawab Setuju
24 % koresponden menjawab Sangat Setuju


4.    Apakah tokoh politik diharuskan netral terhadap persaingan produk? Sehingga profesi “baru” mereka dinilai Tidak Etis ?
6 % koresponden menjawab Tidak Tahu
16 % koresponden menjawab Tidak Setuju
48 % koresponden menjawab Setuju
38 % koresponden menjawab Sangat Setuju



5.    Apakah kehadiran tokoh Agama sebagai endorser iklan komersial membawa pengaaruh negatif terhadap profesinya ?
20 % koresponden menjawab Tidak Tahu
52 % koresponden menjawab Tidak Setuju
28 % koresponden menjawab Setuju



6.    Apakah kehadiran tokoh Agama sebagai endorser iklan komersial membawa pengaaruh negatif terhadap penonton ?
12 % koresponden menjawab Tidak Tahu
56 % koresponden menjawab Tidak Setuju
28 % koresponden menjawab Setuju
4 % koresponden menjawab Sangat Setuju



7.    Penganut agama tertentu secara otomatis percaya dan mengikuti tokoh agama yang menjadi endorser dalam iklan komersial ?
12 % koresponden menjawab Tidak Tahu
20 % koresponden menjawab Tidak Setuju
64 % koresponden menjawab Setuju
4 % koresponden menjawab Sangat Setuju


8.    Apakah tokoh Agama harus netral terhadap persaingan produk. Sehingga kehadiran mereka dalam iklan komersial dinilai Tidak Etis ?
14 % koresponden menjawab Tidak Tahu
26 % koresponden menjawab Tidak Setuju
46 % koresponden menjawab Setuju
14 % koresponden menjawab Sangat Setuju





BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Di Arab Saudi, istilah ustadz punya kedudukan tinggi. Hanya mereka yang bergelar  doktor (S-3) yang telah menyandang predikat profesor saja yang berhak diberi predikat Al-Ustadz. Yang berarti  profesor di bidang ilmu agama. Sedangkan di Indoinesia, istilah ustadz berarti guru agama biasa. Tugasnya yaitu mengajarkan agama Islam ke masyarakat terutama secara langsung ataupun tidak langsung, termasuk melalui televisi.
Sayang, beberapa ustadz lebih sering tampil di televisi bukan sebagai ustadz, tetapi lebih sebagai bintang iklan produk komersil. Dalam hal ini jelas pihak perusahaan telah memanfaatkan atau bahkan memperalat pengaruh ustadz terhadap para umat Islam agar membeli produk komersilnya. Artinya, iklan tersebut telah menunggangi dan membelokkan tugas dan fungsi ustadz yang sesungguhnya. Sehingga muncul istilah ustadz komersil.
Boleh saja seorang ustadz menjadi endorser iklan, asal iklan yang berhubungan dengan kemaslahatan umat. Misalnya, iklan pencerahan tentang keluarga berencana, iklan yang bersifat memotivasi, iklan penyadaran tentang pentingnya mempertahankan NKRI dan semacamnya. Namun, kalau seorang ustadz sudah mengkomersilkan ketenarannya sebagai ustadz, demi kepentingan produk komersil, maka itu sudah memasuki wilayah etika. Artinya, kurang etis kalau seorang ustadz mempengaruhi umatnya agar membeli produk komersil tertentu. Bukan lagi demi kepentingan umat, melainkan demi kepentingan keuntungan pengusaha.
FX Ridwan Handoyo Ketua Badan Pengawas Periklanan PPPI dengan tegas menggaris bawahi bahwa hingga sekarang ini tidak ada aturan yang dilanggar oleh artis yang terjun ke dunia politik, lalu menjadi bintang iklan. “Apa yang dilakukan mereka tidak melanggar kode etik satu pun yang ada dalam kitab Etika Pariwara Indonesia,”.
Walaupun pada eksekusinya, tidak ada penggunaan atribut yang mengarah pada golongan atau kepentingan tertentu. Namun, bagaimana jadinya bila seorang Presiden menjadi endorser iklan komersial ? Etiskah ? seharusnya etis. Karena tidak ada peraturan Negara dan Etika Pariwara Indonesia yang menyatakannya. Hal ini tentu tidak akan diterima oleh masyarkat yang notabene sebagai bagian dari etika itu sendiri. Maka, kami memiliki beberapa saran tentang penambahan regulasi dalam Etika Pariwara Indonesia. Yakni :
Ø    Dalam penggunaan tokoh politik seharusnya tidak menampilkan atribut jabatannya, partai, atau sebagainya, agar tidak terjadi politisi terselubung. Karena khalayak yang menonton iklan dapat berfikir negatif terhadap tokoh politik yang menjadi iklan produk komersial.
Ø    Lebih baik, seorang tokoh politik bekerja professional di bidangnya, sebagaimana seorang dokter dilarang menjadi model iklan produk komersial. (kecuali Iklan Lyanan Masyarakat dan Kampanye Politik)
Ø    Dalam penggunaan tokoh agama, tokoh tersebut sebaiknya berbicara hanya sekedar soal agama saja, bukan berbicara mengenai kelezatan/keunggulan produk dengan membandingkan pesaingnya. Sebaiknya jangan mengatakan hal-hal yang mengarah terhadap himbauan/rekomendasi untuk membeli produk tersebut. Mungkin sekedar bicara pengalaman atau apa yang dia tahu tentang produk tersebut.

 






DAFTAR PUSTAKA



    

Hariyantoimadha.wrodpress.com


www.amaliamaulana.com



Marketing.co.id