Hari ini, Saya akan coba menshare sebuah Penelitian kecil mengenai Etika Pariwara Indonesia, Kebetulan saya adalah Mahasiswa Advertising di Universitas Mercu Buana Jakarta.
Penelitian kecil ini diberi judul
Saran
Penyempurnaan Panduan Etika Periklanan Terkait Penggunaan Tokoh Politik Dan
Tokoh Agama
(Tugas Mata
Kuliah Etika Periklanan)
Isi dari penelitian ini, kurang lebih mengenai Iklan-iklan yang kerap kali menggunakan Tokoh Politik dan Tokoh Agama sebagai endorsernya. Pengiklan cenderung tidak memahami apakah masyarakat yang notabene adalah bagian dari Etika merasa suka atau tidak suka, dalam konteks Beretika dalam Iklan.
Perkembangan
Periklanan Indonesia
Advertisiment (Iklan)
adalah faktor kunci dalam pemasaran. Dengan hanya menempatkan produk di pasar
tidak menjamin pelanggan membelinya. Produsen / perusahaan tentu harus membuat
iklan agar produk dikenali dan akrab bagi pembeli dan
agar produk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Hal ini sangat diyakini oleh para pakar marketing dan produsen. Membuat
mereka merasa masih sangat membutuhkan adanya iklan, khususnya dalam
pembentukan awareness.
“Terkait
hal tersebut, ini merupakan peluang besar bagi media massa
untuk mendapatkan penghasilan yang sebanyak-banyaknya dari perkembangan dunia”
pariwara itu, demikian terungkap dalam "Asia Pacific Media Forum
(APMF)", di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/6). Semakin
membesarnya belanja iklan ini bisa diamati dari semakin penuhnya slot iklan di
berbagai program acara televisi. Fenomena lain yang membuktikan semakin
membesarnya belanja iklan adalah tumbuhnya berbagai iklan luar-griya yang
didirikan di berbagai lokasi laksana jamur di musim hujan.
Hal ini juga dapat
dilihat dari banyaknya biro iklan dunia yang ikut bermain di Indonesia dengan menggarap
produk-produk multinasional. Kehadiran biro iklan dunia ini bisa memberikan
dampak positif jika bisa bekerjasama dengan biro iklan lokal dalam membuat
suatu kreatif iklan. Kehadiran biro iklan dunia juga bisa memberikan kontribusi
positif dalam hal pengembangan komunikasi periklanan yang
baik dan juga strategi kampanye global atau internasional.
JWT
Jakarta, Hakuhodo Indonesia, BBDO, Lowe Indonesia, merupakan nama-nama agency
periklanan dunia yang telah mendirikan perusahaannya di Indonesia karena
dinilai potensial dalam hal belanja iklan. Kemudian dengan
adanya Kompetisi Periklanan Kreatif seperti Citra Pariwara, Phinastika, AdFest,
dll menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap dunia kreatif iklan di
Indonesia belakangan ini. Dengan banyaknya peserta dari puluhan advertising
agency yang mengentry atau mendaftarkan karya iklan mereka, membuktikan bahwa
dunia periklanan di Indonesia mampu bersaing dan penuh kejutan.
Yang
dikhawatirkan adalah, produsen atau perusahaan produk dan jasa di Indonsia,
belum mau menggunakan advertising yang terlalu implisit seperti yang ada dalam kompetisi-kompetisi di atas. Mereka
menganggap bahwa khalayak di Indonesia belum mampu menerima iklan seperti itu,
karena susah dimengerti, butuh kejelian, dan butuh berkali-kali untuk
menontonnya. Lantas, iklan-iklan yang telah mendapatkan banyak penghargaan
sekalipun, belum tentu digunakan terus-menerus oleh produsen. Dan ditayangkan
di media massa, hanya sebagai persyaratan untuk mengikuti kompetisi saja.
Padahal seharusnya, iklan yang baik adalah iklan yang kreatif dan dapat
meningkatkan keuntungan atau profit. Seperti yang dikatakan David Ogilvy “If it
doesn’t sell, it is not creative”.
Selain
itu, perkembangan periklanan di Indonesia mungkin saja terjadi pada perubahan
media, yakni Internet. Sejak awal tahun 1990an, masyarakat indonesia
telah memulai media baru ini. Tetapi
meski demikian, hingga mendekati tahun 2010an, penetrasi beriklan di internet
masih belum kuat di Indonesia, para pemasang iklan masih terbatas pada
pengusaha di bidang internet seperti toko online, usaha hosting, game online,
software developer dan affiliate marketing.
Indonesia
selalu menduduki peringkat atas sebagai negeri dengan pengguna perangkat
jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter di dunia. Data terakhir
menyebutkan tak kurang dari 35 juta penduduk Indonesia menggunakan Facebook dan
5 juta menggunakan Twitter. Dari jumlah pengguna media digital tersebut,
pemerhati periklanan memperkirakan potensi pasar e-commerce yang bisa digarap
mencapai 180 miliar rupiah. Hanya saja, sampai saat ini, belum sampai 5 persen
yang sudah tergarap.
"Nah,
itu kan peluang pasar yang masih sangat besar dan sebenarnya nilai potensialnya
jauh dari angka perkiraan itu, mungkin bisa sampai 500 miliar bahkan
lebih," demikian terang Ketua DPD Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia(P3I) DIY, Eddy Puryanto, kepada wartawan, akhir pekan lalu, di
Yogyakarta.
Jika kita
memperhatikan, sebenarnya insan marketing di Indonesia telah mulai melirik internet sebagai
salah satu cara beriklan. Namun, cara beriklan yang digunakan masih terfokus
pada tiga cara yakni :
1.
Berpindah dari trend offline ke online, yakni memfokuskan pada media.
2.
Beriklan di facebook atau social network semacamnya.
3.
Beriklan di google adsense / google adwords yang mayoritas ditujukan untuk
segmen pasar internet Indonesia
yang kurang menguasai bahasa Inggris.
Namun, melihat
perkembangan teknologi yang ada, tidak menutup
kemungkinan internet menjadi sasaran “pusat periklanan” yang berkembang di
pasaran, mengingat iklannya memungkinkan 24 jam (tidak
ada batasan waktu), berbeda dengan iklan TV yang memiliki regulasi pada waktu
penayangannya.
Dan juga pangsa
pasar pelanggan yang semakin hari semakin banyak menggunakan internet.
Oleh sebab
itu, tentu harus ada perundangan atau regulasi yang
mengatur periklanan di Internet agar iklan
yang disampaikan dapat berkualitas, bersifat mendidik, memberikan
penawaran yang baik terhadap masyarakat, dan tepat sasaran. serta pesan yang
ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Kedua
gambaran perkembangan periklanan di atas, seyogyanya dapat dijadikan motivasi
buat kita untuk dapat terus berkarya dalam bentuk kampanye iklan dengan
kreatifitas tinggi, serta dapat meningkatkan profit. Pembuatan regulasipun
harus lebih menggunakan hati, agar tujuan peraturan dan perundang-undangan
nantinya dapat diamalkan bukan hanya sebagai syarat tayang, tetapi untuk
kepentingan kita bersama.
Penggunaan Tokoh Politik dan Agama dalam Iklan
Pertumbuhan
industri periklanan tak pelak mengiringi belanja iklan yang semakin membesar.
Berbagai biro iklan dan industri yang berelasi dengannya seperti rumah
produksi, percetakan dan sejenisnya tumbuh subur bukan hanya di Jakarta sebagaimana yang
terjadi di beberapa dekade yang lalu, namun menyebar ke berbagai daerah.
Sayangnya
antusiasme pelaku industri periklanan dalam penegakan etika ranah periklanan Indonesia
yang juga masih belum menggembirakan. Ini bisa dilihat dari maraknya
pelanggaran Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang telah diratifikasi oleh Dewan
Periklanan Indonesia (DPI) sebagai standar etika dalam dunia periklanan
Indonesia dan telah diakomodir oleh berbagai asosiasi yang berada dalam ranah
periklanan.
Melaksanakan
etika periklanan, sebagaimana yang telah diatur melalui EPI, merupakan
kewajiban moral yang bersifat mutlak. Untuk membuktikan pernyataan ini, kita
bisa menggunakan pendekatan etika yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, filsuf
Jerman yang terkenal di masa abad pencerahan yang hidup tahun 1724 – 1804 M,
dan Max Scheler, filusf Jerman abad 20 yang terkenal dengan pandangannya
tentang etika nilai.
Menurut
Immanuel Kant kewajiban moral bersifat mutlak, artinya tidak dapat
ditawar-tawar. Dari pengandaian Immanuel Kant ini, Max Scheler menarik
kesimpulan bahwa perbuatan dinilai secara moral apabila
dilakukan murni sebagai kewajiban. Jadi bukan materi kewajiban yang menentukan
, melainkan bentuk atau formanya yaitu bahwa ia merupakan kewajiban
(Suseno,2000:34). Dari sini bisa
dikontekstualisasikan bahwa kewajiban menaati EPI dalam praktek periklanan di
dunia praktis bernilai secara moral bukan karena merupakan kewajiban, melainkan
merupakan kewajiban karena bernilai secara moral. Bagaimanapun
juga yang terpenting dari salah satu usaha memajukan dunia periklanan Indonesia
adalah kesadaran moral untuk menaati EPI tanpa terkecuali.
Lalu
bagaimana dengan penggunaan Tokoh Agama, dalam hal ini Ustadz dalam
Iklan? Fenomena komodifikasi agama juga terlihat jelas dengan adanya
beberapa iklan komersial yang dibintangi oleh ustadz. Secara hukum halal-haram
memang tidak ada ketentuan yang membolehkan atau melarang
ustadz menjadi bintang iklan. Nabi Muhammad pun tak pernah melarang ustadz
menjadi bintang iklan. Tetapi agaknya ada nilai-nilai kepatutan yang perlu
dipertimbangkan secara lebih mendalam ketika ustadz menjadi bintang iklan
komersial.
Kita yakin
para ustadz yang menjadi bintang iklan mempunyai alasan-alasan pembenaran
ketika memutuskan menjadi bintang iklan sebab mereka orang-orang yang berilmu. Kita
juga memahami bahwa mereka juga manusia biasa yang ingin mendapatkan materi
dari apa yang mereka lakukan dan mereka juga ingin populer di mata
masyarakat. Tetapi publik mempunyai hak untuk memaknai keberadaan ustadz
sebagai bintang iklan sebab keberadaan ustadz dianggap sebagai publik figur.
Diri
ustadz tidak lagi milik dirinya sendiri atau keluarganya. Ketika seseorang
memutuskan dirinya sebagai seorang ustadz maka dirinya menjadi milik umat atau
publik sehingga publik mempunyai hak untuk “mengatur” dan memberikan tafsiran
terhadap segala sesuatu yang dilakukannya. Publik
tidak hanya memahami kata-kata yang disampaikan ustadz tetapi yang lebih
penting bagi publik adalah perilaku kehidupan ustadz sehari-hari, sebab agama
itu tidak hanya kata-kata tetapi juga perbuatan.
Peran
dakwah yang dimainkan ustadz tidak bisa dipisahkan dari kehidupan pribadinya.
Publik memandang ustadz sebagai role model atau panutan bagi umat. Bahkan
ustadz dianggap simbol kebenaran dan kesucian,
sehingga publik menginginkan seorang ustadz benar-benar terjaga dari
perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai religiusitas. Jika demikan apa maknanya jika ustadz menjadi bintang
iklan di mata publik?
Pertama,
jika ustadz menjadi bintang iklan komersial maka semakin memperkuat justifikasi
terhadap komodifikasi agama sebab ustadz sebagai tokoh agama membiarkan dirinya
dijerat oleh kekuatan materi. Label
ustadz dan simbol-simbol religiusitas yang ditampilkan dalam iklan komersial
memperburuk citra ustad yang bersifat komersial di mata masyarakat. Padahal
agama mengajarkan bahwa kekuatan materi tidak boleh mengatur hidup manusia.
Motif materi dikhawatirkan akan menodai kesucian dan kebenaran yang disampaikan
ustadz. Dari sisi industri periklanan, pilihan sosok
ustadz sebagai bintang iklan sangat potensial sebab ustadz itu mempunyai
pengikut, penggemar, dan umat yang cenderung bersifat emosional dalam memandang
ustadz. Nilai jual ustadz sangat tinggi dalam industri periklanan. Sehingga
diasumsikan pengikut ustadz akan secara emosional pula membeli produk yang
diiklankan oleh ustadz.
Kedua,
ustadz dianggap tidak lagi hadir untuk semua umat. Publik mengharapkan ustadz
itu dapat diterima oleh semua kelompok agar kehidupan masyarakat terasa lebih
aman. Tetapi bila ustadz menjadi bintang iklan maka
ia dipandang pro terhadap produk tertentu yang diproduksi oleh kelompok
tertentu. Ustad menjadi tidak netral lagi dan tidak bisa memandang objektif
kehidupan ini.
Ketiga,
bahaya popularitas. Adalah wajar ketika seorang ustadz ingin menjadi ustadz
yang terkenal dan populer. Namun popularitas jangan menjadi tujuan utama
seorang ustad sebab itu sangat berbahaya bagi diri ustad dan public. Dalam
dunia budaya populer, popularitas akan berkaitan langsung dengan nilai jual.
Semakin populer seorang bintang iklan maka akan semakin tinggi nilai jualnya. Sehingga
semakin populer seorang ustadz maka akan semakin tinggi nilai jualnya sebagai
bintang iklan sekaligus sebagai seorang ustadz. Akibatnya, keluar pula istilah
ada tarif tertentu jika kita ingin mengundang ustad yang terkenal.
Popularitas
juga sangat berbahaya bagi ustadz sebab popularitas bisa membutakan mata hati
untuk melihat kebenaran. Popularitas
juga bisa merusak esensi dari dakwah sebab para ustadz yang gila popularitas
lebih cenderung untuk menjaga popularitas dengan retorika-retorika tertentu
dari pada berpikir secara substantif untuk menyampaikan kebenaran kepada
publik.
Kemudian, tentang artis yang terjun
ke dunia politik dan tak berapa lama,
menjadi model sebuah iklan komersial. Apa
hubungan para bintang ini dengan dunia marketing? Tentu saja ada karena ada
banyak di antara mereka yang terlibat dalam strategi pemasaran berbagai macam
produk. Terutama, sebagai endorser suatu merek atau menjadi talent dalam iklan.
Memang, belakangan ini, ada sejumlah merek yang menggunakan tokoh artis yang
sekarang juga berpolitik. Misalnya Adjie Massaid yang menjadi talent Sunco, produk
minyak goreng, dan Dede Yusuf di iklan motor merek Suzuki.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah dampak yang muncul ketika para artis-politikus ini menjadi
bintang iklan sebuah produk? FX Ridwan Handoyo Ketua Badan Pengawas Periklanan
PPPI dengan tegas menggaris bawahi bahwa hingga sekarang ini tidak ada aturan
yang dilanggar oleh artis yang terjun ke dunia politik, lalu menjadi bintang
iklan. “Apa yang dilakukan mereka tidak melanggar kode etik satu pun yang ada
dalam kitab Etika Pariwara Indonesia,” jelasnya.
Selain
aturan dalam Etika Pariwara Indonesia, negara ini juga belum punya regulasi
khusus mengenai pejabat publik yang menjadi iklan produk. Sehingga, seorang
presiden pun boleh semasa masih mengatasnamakan pribadi. Tapi, kalau membawa
jabatan itu sudah bisa disebut iklan politik—bukan produk—dan tidak etis. Karena
itu, konsumen harus bisa dengan jelas melihat apakah iklan tersebut iklan
komersil atau iklan politik. Ia justru
mengingatkan bahwa yang jelas dilarang itu adalah orang dengan profesi tertentu
menjadi bintang iklan. Misalnya, profesi dokter yang sangat terikat dengan
sumpah profesi. “Karena profesi mereka melekat seterusnya. Tidak seperti
politikus yang bisa keluar-masuk dunia politik semaunya.”
Lalu,
benarkah sudah tidak ada masalah sama sekali? Menurut Ridwan Handoyo pemilihan
artis-politikus tentu akan membawa risiko lebih besar. Sebenarnya, risiko ini
pun berlaku pada semua tokoh yang dipakai sebagai bintang iklan. Karena bisa
saja tokoh yang tidak berpolitik image-nya
jatuh lantaran masalah pribadi. Namun, pada artis-politikus risikonya menjadi lebih
besar karena selain dilihat sebagai individu, juga akan dikaitkan dengan
partainya.
Penjabaran di
atas menggambarkan bahwa sebenarnya tidak ada pelanggaran yang dilakukan iklan
dalam menggunakan Profesi Tokoh Agama dan Tokoh Politik sebagai endorser mereka.
Namun, hal tersebut menjadi tidak etis karena masyarakat mampu terhipnotis
dengan apa yang disebutkan atau dipersuasifkan tokoh-tokoh tersebut untuk
menggunakan produk yang mereka iklankan. Terlebih dengan adanya kelompok
tertentu yang “fanatik” dengan tokoh Agama ataupun Politik bersangkutan.
Menjadi sebuah kepentingan pribadi dan bahkan kecurangan dalam persaingan
produk.
Maka, perlu
adanya amandemen, atau pengembangan lebih lanjut tentang isi Kitab Etika
Pariwara Indonesia. Khususnya tentang penggunaan tokoh politik dan tokoh Agama.
Agar panduan etika beriklan tersebut tidak hanya sebagai kewajiban pra syarat
tayang, tetapi lebih menyadarkan hati nurani kita.
Dalam
penelitian ini, kami membuat sebuah kuesioner yang mudah dimengerti dan dapat
dikerjakan oleh siapa saja. Dari kacamata masyarakat awam. Kami
mengategorikannya ke dalam tiga bagian pada kuesioner tersebut. Pertama adalah
Introduction, dimana hasilnya akan merujuk pada seberapa sering koresponden
memperhatikan iklan. Kedua adalah Problem Insight 1, dimana hasilnya akan
merujuk pada pengetahuan khalayak tentang masalah pertama (Tokoh Politik). Dan
terakhir adalah Problem Insight 2, dimana hasilnya merujuk pada pengetahuan dan
saran koresponden terhadap masalah kedua (Tokoh Agama).
Dari
total sebanyak 25 koresponden yang kami miliki, yang terdiri dari 11 orang
Praktisi Marketing/Advertising dan 14 orang Masyarakat dan mahasiswa. Hasilnya
adalah sebagai berikut :
Ini merupakan hasil jumlah pemilih
untuk
1
: Tidak tahu 2 : Tidak setuju 3
: Setuju 4 : Sangat
setuju
NO
|
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
Anda
pernah memperhatikan iklan di Televisi
|
0
|
2
|
13
|
10
|
2
|
Anda
pernah memperhatikan iklan di media cetak
|
0
|
2
|
13
|
10
|
3
|
Anda
sadar bahwa billboard, bus, halte, umbul-umbul, balon udara, dll adalah
media-media untuk beriklan
|
0
|
0
|
8
|
17
|
4
|
Anda
tertarik, ketika konsep beriklannya sangat kreatif
|
0
|
0
|
11
|
14
|
5
|
Anda
tertarik, saat endorser/model iklan tersebut adalah orang yang sangat Anda
kenali/sukai
|
0
|
4
|
16
|
5
|
NO
|
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
3
|
Anda
sadar pernah melihat tokoh politik membintangi iklan
komersial produk makanan
|
2
|
8
|
8
|
7
|
4
|
Kehadiran tokoh politik dalam iklan komersial tsb membawa dampak
POSITIF terhadap keprofesiannya
|
3
|
17
|
4
|
1
|
5
|
Kehadiran tokoh politik dalam
iklan komersial tsb membawa dampak NEGATIF terhadap keprofesiannya
|
4
|
9
|
12
|
0
|
6
|
Kehadiran
tokoh politik dalam iklan
komersial tsb membawa dampak POSITIF terhadap penonton
|
11
|
9
|
5
|
|
7
|
Kehadiran
tokoh politik dalam iklan
komersial tsb membawa dampak NEGATIF terhadap penonton
|
4
|
8
|
7
|
6
|
8
|
Tokoh
politik harus netral terhadap persaingan produk
|
1
|
0
|
8
|
16
|
9
|
Penggunaan
Tokoh Politik dalam iklan komersial produk dinilai tidak etis
|
2
|
4
|
16
|
3
|
NO
|
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
Anda
mengenali tugas dan pekerjaanTokoh Agama
|
0
|
0
|
16
|
9
|
2
|
Anda
sadar pernah melihat Tokoh Agama membintangi atau bertestimoni dalam iklan
komersial produk
|
3
|
10
|
9
|
3
|
3
|
Kehadiran
Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb membawa dampak POSITIF terhadap
keprofesiannya
|
5
|
13
|
7
|
0
|
4
|
Kehadiran
Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb membawa dampak NEGATIF terhadap
keprofesiannya
|
3
|
8
|
12
|
2
|
5
|
Kehadiran
Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb membawa dampak POSITIF terhadap
penonton
|
4
|
14
|
7
|
0
|
6
|
Kehadiran
Tokoh Agama dalam iklan komersial tsb membawa dampak NEGATIF terhadap
penonton
|
3
|
14
|
7
|
1
|
7
|
Orang
yang taat agamanya, seperti terdoktrin dan sangat percaya dengan perkataan Tokoh Agama dalam iklan komersial
tsb
|
3
|
5
|
16
|
1
|
8
|
Tokoh
Agama harus netral terhadap persaingan produk
|
3
|
4
|
13
|
5
|
9
|
Penggunaan
Tokoh Agama dalam iklan komersial produk dinilai tidak etis
|
4
|
9
|
10
|
2
|
Dari penjabaran kuesioner di atas, kami menganalisia
semua jawaban ke dalam beberapa kategori. Sehingga kami mendapatkan delapan
point penting yang kami susun dalam bentuk diagram. Yaitu :
92 % Koresponden
tertarik dan memperhatikan iklan
8 % kurang memperhatikan iklan.
2.
Apakah kehadiran tokoh politik sebagai endorser iklan
komersial membawa pengaruh negatif terhadap profesinya ?
16 % koresponden
menjawab Tidak Tahu
36 % koresponden
menjawab Tidak Setuju
48 % koresponden
menjawab Setuju
3.
Apakah kehadiran tokoh politik sebagai endorser iklan
komersial membawa pengaruh negatif terhadap penonton ?
16 % koresponden
menjawab Tidak Tahu
32 % koresponden
menjawab Tidak Setuju
28 % koresponden
menjawab Setuju
24 % koresponden
menjawab Sangat Setuju
4.
Apakah tokoh politik diharuskan netral terhadap
persaingan produk? Sehingga profesi “baru” mereka dinilai Tidak Etis ?
6 % koresponden
menjawab Tidak Tahu
16 % koresponden
menjawab Tidak Setuju
48 % koresponden
menjawab Setuju
38 % koresponden
menjawab Sangat Setuju
5.
Apakah kehadiran tokoh Agama sebagai endorser iklan
komersial membawa pengaaruh negatif terhadap profesinya ?
20 % koresponden
menjawab Tidak Tahu
52 % koresponden
menjawab Tidak Setuju
28 % koresponden
menjawab Setuju
6.
Apakah kehadiran tokoh Agama sebagai endorser iklan
komersial membawa pengaaruh negatif terhadap penonton ?
12 % koresponden
menjawab Tidak Tahu
56 % koresponden
menjawab Tidak Setuju
28 % koresponden
menjawab Setuju
4 % koresponden
menjawab Sangat Setuju
7.
Penganut agama tertentu secara otomatis percaya dan
mengikuti tokoh agama yang menjadi endorser dalam iklan komersial ?
12 % koresponden
menjawab Tidak Tahu
20 % koresponden
menjawab Tidak Setuju
64 % koresponden
menjawab Setuju
4 % koresponden
menjawab Sangat Setuju
8.
Apakah tokoh Agama harus netral terhadap persaingan
produk. Sehingga kehadiran mereka dalam iklan komersial dinilai Tidak Etis ?
14 % koresponden
menjawab Tidak Tahu
26 % koresponden
menjawab Tidak Setuju
46 % koresponden
menjawab Setuju
14 % koresponden
menjawab Sangat Setuju
Di Arab Saudi, istilah
ustadz punya kedudukan tinggi. Hanya mereka yang bergelar doktor (S-3)
yang telah menyandang predikat profesor saja yang berhak diberi predikat
Al-Ustadz. Yang berarti profesor di bidang ilmu agama. Sedangkan di
Indoinesia, istilah ustadz berarti guru agama biasa. Tugasnya yaitu mengajarkan
agama Islam ke masyarakat terutama secara langsung ataupun tidak langsung,
termasuk melalui televisi.
Sayang, beberapa ustadz lebih sering tampil
di televisi bukan sebagai ustadz, tetapi lebih sebagai bintang iklan produk komersil.
Dalam hal ini jelas pihak perusahaan telah memanfaatkan atau bahkan memperalat
pengaruh ustadz terhadap para umat Islam agar membeli produk komersilnya.
Artinya, iklan tersebut telah menunggangi dan membelokkan tugas dan fungsi
ustadz yang sesungguhnya. Sehingga muncul istilah ustadz komersil.
Boleh saja seorang ustadz menjadi endorser iklan,
asal iklan yang berhubungan dengan kemaslahatan umat. Misalnya, iklan
pencerahan tentang keluarga berencana, iklan yang bersifat memotivasi, iklan
penyadaran tentang pentingnya mempertahankan NKRI dan semacamnya. Namun, kalau
seorang ustadz sudah mengkomersilkan ketenarannya sebagai ustadz, demi
kepentingan produk komersil, maka itu sudah memasuki wilayah etika. Artinya, kurang
etis kalau seorang ustadz mempengaruhi umatnya agar membeli produk
komersil tertentu. Bukan lagi demi kepentingan umat, melainkan demi kepentingan
keuntungan pengusaha.
FX Ridwan Handoyo Ketua Badan Pengawas
Periklanan PPPI dengan tegas menggaris bawahi bahwa hingga sekarang ini tidak
ada aturan yang dilanggar oleh artis yang terjun ke dunia politik, lalu menjadi
bintang iklan. “Apa yang dilakukan mereka tidak melanggar kode etik satu pun
yang ada dalam kitab Etika Pariwara Indonesia,”.
Walaupun pada eksekusinya, tidak ada
penggunaan atribut yang mengarah pada golongan atau kepentingan tertentu. Namun, bagaimana jadinya bila seorang Presiden menjadi endorser iklan
komersial ? Etiskah ? seharusnya etis. Karena tidak ada peraturan Negara dan
Etika Pariwara Indonesia yang menyatakannya. Hal ini tentu tidak
akan diterima oleh masyarkat yang notabene sebagai bagian dari etika itu
sendiri. Maka, kami memiliki beberapa saran tentang penambahan regulasi dalam
Etika Pariwara Indonesia. Yakni :
Ø
Dalam penggunaan tokoh politik seharusnya
tidak menampilkan atribut jabatannya, partai, atau sebagainya, agar tidak
terjadi politisi terselubung. Karena khalayak yang menonton iklan dapat
berfikir negatif terhadap tokoh politik yang menjadi iklan produk komersial.
Ø
Lebih baik, seorang tokoh politik bekerja
professional di bidangnya, sebagaimana seorang dokter dilarang menjadi model
iklan produk komersial. (kecuali Iklan Lyanan
Masyarakat dan Kampanye Politik)
Ø
Dalam penggunaan tokoh agama, tokoh tersebut
sebaiknya berbicara hanya sekedar soal agama saja, bukan berbicara mengenai
kelezatan/keunggulan produk dengan membandingkan pesaingnya. Sebaiknya jangan
mengatakan hal-hal yang mengarah terhadap himbauan/rekomendasi untuk membeli
produk tersebut. Mungkin sekedar bicara pengalaman atau apa yang dia tahu
tentang produk tersebut.
Hariyantoimadha.wrodpress.com
www.amaliamaulana.com
Marketing.co.id