Menjadi bagian dari kelompok Paduan Suara Mahasiswa (PSM) adalah berkah sekaligus sentilan emas yang pernah saya dapatkan. Berkah, karena saya dapat menyalurkan hobi menyanyi, dan ‘sentilan’ karena begitu banyak kebudayaan Indonesia yang baru saya kenali setelah menjejaki kegiatan PSM baik Nasional maupun Internasional. Hampir empat tahun meniti “profesi” sebagai penyanyi paduan suara telah menempatkan saya menjadi seorang yang tidak lagi apatis, tidak lagi kecewa, tidak lagi diam terhadap negeri ini.
Tak
dapat dipungkiri, dunia paduan suara Indonesia mendapatkan posisi tinggi pada
setiap kompetisi internasional, namun seringkali mereka sulit mendapatkan
dukungan dari lingkungan sekitar seperti orang tua, dosen, teman-teman, bahkan
pemerintah. Bangsa-bangsa di luar sana saja mengagumi ke-elok-an kebudayaan
kita, mengapa kita tidak ? Perlu adanya kesadaran holistik dalam mendukung
paduan suara kita, khususnya dalam membawakan lagu-lagu folklore, setiap
kalangan harus bersatu padu menyukseskan setiap pertunjukan seni dan kebudayan,
baik sebagai pelaku, penyelenggara, pemberi donatur, ataupun penonton demi
identitas bangsa kita.
Tak Melulu “Kaku”
Jika
semasa Sekolah Dasar kelompok aubade diwajibkan melipat jemari kedua tangan
dengan jemari kiri berada di bawah dan diletakan di pinggang sebelah kanan,
maka semasa kuliah akan sama sekali berbeda. Choirs are beyond my experience.
Setelah saya melihat promosi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Universitas Mercu
Buana saat masa Dunia Kampus dulu, saya terkejut dimana kelompok paduan suara
tersebut menyanyikan lagu-lagu daerah dengan aransemen menarik dan tarian yang
tak gampang. Sangat menarik sekaligus menyentil saya yang baru mengetahui kalau
lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah setelah sang pemandu acara
menyebutkannya. Ada Don Dap-Dape dari Bali, Luk-Luk Lumbu dari Banyuwangi,
Marencong dari Bugis dan
Tak
Tong-Tong dari Minang. Penampilan mereka benar-benar di luar ekspektasi saya
kala itu, hal itupun sontak menggugah sanubari saya untuk bisa menjadi bagian
dari mereka dan turut serta melestarikan berbagai kebudayaan luhur yang
menghiasi wajah pertiwi ini. Setelah serangkaian
audisi dan resmi menjadi anggota paduan suara, pikiran saya terbuka bahwa ternyata
masih banyak kalangan di Indonesia yang peduli akan peninggalan luhur,
identitas bangsa, yang kita sebut kebudayaan. Pada setiap penampilan, kami
diwajibkan menghapal lagu-lagu daerah dengan aransemen kontemporer dan
gerakan-gerakan tari yang mendukung tiap syair di dalamnya. Sebuah pengalaman
mengejutkan karena saya terbilang kaku dalam menari. Tapi tak pernah
menyurutkan semangat saya untuk terus berlatih dan komitmen akan salah satu
cara pelestarian budaya di tengah-tengah pemuda ini. Pernah suatu kali kami
menampilkan lagu Tak Tong-Tong aransemen Ega O. Azarya dengan tarian yang
mengharuskan kami menekuk lutut hingga hampir menyentuh lantai dengan tangan di
atas kepala (seperti gerakan bela diri Minangkabau), kemudian diberikan
sentuhan atraksi oleh koreografer yang juga mengharuskan salah seorang teman
kami diangkat tinggi. Aransemen lagu yang menantang ditambah koreografi apik,
membuat penonton tak segan berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah terhadap
kami. Apresiasi itulah yang membuat kami tak henti merekahkan senyuman hingga
meneteskan air mata. Dan yang pasti, enggan menghentikan “profesi” ini, Agen
Misi Kebudayaan.
Ternyata, Tak Melulu
Mulus
“Seleksi
alam” anggota seringkali terjadi pada sebuah organisasi atau kelompok. Tapi,
siapa sangka jika seleksi alam yang terjadi di paduan suara kampus kami justru karena jenis
kegiatan yang dilakukan setiap hari oleh orang di dalamnya, yakni menari dan
menyanyi, yang berimplikasi pada timbulnya stigma negatif bahwa
anak laki-laki paduan suara cenderung ke-wanita-wanita-an atau bahasa kasarnya
“banci” atau lemah. Karena hal itulah, anggota paduan suara angkatan 2010 yang
awalnya berjumlah 33 orang, berkurang menjadi 23 orang hanya dalam kurun waktu
3 bulan. Mereka tidak ingat dengan jenis kebudayaan apa yang di-klaim oleh
negara Malaysia, sebagian besarnya adalah lagu-lagu daerah dan tari-tarian.
Lagu rasa sayange, soleram, injit-injit semut, kakak tua, anak kambing saya,
hingga jali jali, sedangkan tari-tarian seperti tari pendet, tari piring,
hingga tor-tor [1]
Masalah
lain juga ikut menggerogoti perjalanan kami, yakni kesenjangan antara waktu
latihan dan ijin orangtua serta dosen. Tidak sedikit orang tua kami yang
mengatakan “kamu mama kuliahin untuk belajar, bukan latihan paduan suara terus”
yang berujung pada tidak diperbolehkannya anak-anak mereka untuk latihan. Tak
ayal, dosen kamipun mengatakan hal senada ketika kami memberikan surat ijin
untuk mengikuti kegiatan paduan suara, “kampus tempat kalian kuliah, bukan
ber-paduan suara”. Bapak
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa kebudayaan berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia
terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan
hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup
dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya
bersifat tertib dan damai. Maka mereka (orangtua dan dosen) yang
mengatakan demikian sama sekali tidak menghargai zaman dan alam, berarti tidak
menghargai perjuangan manusia.
Saya
yang kala itu menjabat sebagai ketua hanya bisa memotivasi anggota untuk kembali
menghayati apa yang selama ini kita lakukan dan untuk siapa pengorbanan ini
kita persembahkan. Ya, Indonesia. Mungkin, masalah-masalah tersebut pula yang
bersemayam di banyak kelompok paduan suara di dunia, maka itulah saya menulis
esai ini.
Tak Melulu Kalah
Saya yakin, tahun 2011 lalu sebagian dari kita
geram melihat kekalahan telak Tim Nasional U-19 ketika melawan Vietnam, yakni
dengan skor 1-6, padahal Negara Vietnam merdeka jauh setelah Indonesia merdeka.
Saya yakin pula, hampir semua masyarakat Indonesia teriris melihat kekalahan
telak Timnas dalam menghadapi Club sepak bola dunia seperti Arsenal (7-0),
Liverpool (2-0),dan Chelsea (8-1). Parahnya, pemuda-pemudi kita semakin geram
ketika masyarakat Malaysia mengejek Indonesia dengan “sadis” di youtube dan
blog, jelas karena Malaysia hanya kalah 1-2 dengan Arsenal. Saya tidak
bermaksud membandingkan prestasi tersebut dengan prestasi paduan suara di
Indonesia. Saya hanya memberikan gambaran bahwa ada sekelompok orang yang
berhasil mengharumkan nama Indonesia dengan sangat “menyengat” di ranah dunia
dan ini wajib dibanggakan. Paduan suara Mercu Buana, Undip dan Unhas berhasil
meraih Platinum untuk kategori Folklore pada Xinghai Prize International Choir
Championship di Guangzhou - Cina, Paduan Suara Unpad dinobatkan sebagai juara
Grand Prix pada 48th Montreux Choral Festival di Montreux – Swiss, Batavia
Madrigal Singers yang menjadi pemenang pada International May Choir Competition Prof. Georgi Dimitrov di Varna – Bulgaria, yang
merupakan bagian dari European Grand Prix (kompetisi paduan suara tersulit di dunia),
prestasi yang saya sebutkan adalah di tahun 2012. Dan sejak dahulu, hampir
tidak ada paduan suara Indonesia yang berkompetisi di luar negeri namun tidak
menyumbangkan medali untuk Indonesia. Pakaian tradisional yang kami kenakan
ketika berkompetisi Internasional pun menjadi incaran kamera para penonton. Pernah
ketika saya bersama paduan suara Mercu Buana di Cina dengan mengenakan pakaian
tradisional Bali, peserta dari negara lain memperhatikan kami dengan
penasarannya dan pada akhirnya mengajak kami berfoto bersama. Mereka bilang “Your
dress is beautiful and unique”, sontak perkataan mereka menghilangkan semua
penat dan masalah yang pernah timbul di kala proses latihan kami. Tidak ada
rasa malu ketika mengenakan pakaian tradisional di sana, yang ada hanya kebanggaan
bahwa karya leluhur yang kami tampilkan di sana (luar negeri) membawa nama
harum bangsa. Yang kami takutkan justru rasa malu yang timbul kala kebudayaan
tersebut ditampilkan di negeri sendiri. Kenapa ? karena seringkali pertunjukan
paduan suara di Indonesia mendapatkan apresiasi kerdil dari penontonnya, sudah
jadi rahasia umum bahwa banyak warga kita, khususnya pemuda yang kurang
mencintai seni dan kebudayaan Indonesia. Mereka lebih memilih menyaksikan
konser Super Junior dengan tiket termurah Rp. 550.000 dibandingkan konser yang
berisi lagu-lagu dan tarian daerah namun dengan tiket Rp. 50.000. Mungkin minimnya apresiasi tersebut karena
sifat orang tua dan dosen-dosen kami yang memadang sebelah mata kegiatan seni
dan kebudayaan ini.
Karena Profesi Kami, Agen Misi Kebudayaan
Jika melihat track record paduan suara di Indonesia, maka seyogyanya pemerintah
memberikan perhatian penuh juga kepadanya, tidak melulu mengalokasikan dana
besar untuk sepak bola nasional yang memungkinkan timbulnya benih korupsi. Karena
selama ini saya merasakan bahwa pemerintah tidak sepenuh hati memberikan
perhatian terhadap seni dan kebudayaan, mereka memberikan bantuan dana melalui
Kemendikbud tidak hampir 50% dari total dana minimum kami selama di luar
negeri, sisanya ? usaha sendiri. Selain itu, ketidakhadiran mereka dalam acara
seni dan kebudayaan tersebut cukup melukai kami secara mental, seperti memberi sogokan beberapa rupiah pada anak kecil untuk
mau ditinggal di rumah sendirian. Padahal dukungan itu harus diberikan secara komplit, tidak hanya materi tapi juga mental. Pemuda Indonesia jangan menganggap remeh mereka
yang berlatih lagu dan tarian daerah, realitanya adalah mereka lebih
berprestasi dibandingkan yang hanya kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Mahasiswa
juga tidak hanya memiliki olah pikir dan olah raga saja, tetapi juga olah rasa
yang bisa kita implementasikan kepada karya-karya leluhur. Pemuda wajib
mencintai kebudayaan di saat yang tepat, yakni setiap hari, tidak hanya di saat
kebudayaan kita diklaim oleh negara lain saja. Jika
dalam lingkungan Universitas Mercu Buana saja yang berisi 18.695 mahasiswa aktif
hanya 55 orang (jumlah anggota aktif paduan suaranya) yang percaya diri dan
konsisten melestarikan kebudayaan Indonesia, maka bisa dibayangkan berapa
mahasiswa yang berontak bahkan memaki Malaysia ketika pengklaiman terjadi.
Jawabannya 18.640 mahasiswa. Mereka berontak karena sadar akan ketidakmampuan
menjaga kebudayaan bangsanya, mereka malu dan melampiaskannya kepada
pemerintah. Berikan keleluasaan berekspresi dan berprestasi
bagi insan seni dan kebudayaan, perbanyak gedung-gedung pertunjukan agar tidak
hanya Usmar Ismail, Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Tanah Airku saja yang
bagus, itupun biaya sewanya sangat mahal, wajibkan setiap instansi pendidikan
untuk memiliki kelompok seni dan kebudayaan yang aktif dan jangan lagi pandang
negatif, wajibkan pula seluruh pegawai dan petinggi Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk menghadiri setiap undangan sekolah atau mahasiswa. Rencanakan promosi terpadu untuk
setiap kelompok seni yang akan tampil di dalam maupun di luar negeri, kemudian
berikan apresiasi tinggi bagi kelompok seni yang mendapatkan prestasi di luar negeri, termasuk dana pendidikan bagi
mahasiswa.
Perlu digarisbawahi, kami anggota paduan suara mahasiswa
tetap bercita-cita sesuai dengan keinginan awal memasuki program studi di
universitas, sebagai Hakim, Ahli Pajak, Reporter, Psikolog, Desainer, Dokter
dan lain sebagainya. Namun, tidak kami sesali bahwa profesi kami menjadi ganda
setelah menjajaki dunia berpaduan suara yang penuh dengan Tridaya (Cipta,
Karya, dan Rasa) terhadap seni dan kebudayaan bangsa, karena profesi kami
adalah Agen Misi Kebudayaan.
Daftar Pustaka
http://kebudayaanindonesia.net/id/news/detail/1/budaya-indonesia-yang-pernah-diklaim-malaysia#.Ug9U_JJHJWI
diakses pada 17-8-2013 pukul 14.30).
http://mercubuana.ac.id diakses pada 17-8-2013 pukul 16.00