Sunday, December 8, 2013

Profesi Baru Ini Bernama Agen Misi Kebudayaan



Menjadi bagian dari kelompok Paduan Suara Mahasiswa (PSM) adalah berkah sekaligus sentilan emas yang pernah saya dapatkan. Berkah, karena saya dapat menyalurkan hobi menyanyi, dan ‘sentilan’ karena begitu banyak kebudayaan Indonesia yang baru saya kenali setelah menjejaki kegiatan PSM baik Nasional maupun Internasional. Hampir empat tahun meniti “profesi” sebagai penyanyi paduan suara telah menempatkan saya menjadi seorang yang tidak lagi apatis, tidak lagi kecewa, tidak lagi diam terhadap negeri ini.
Tak dapat dipungkiri, dunia paduan suara Indonesia mendapatkan posisi tinggi pada setiap kompetisi internasional, namun seringkali mereka sulit mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar seperti orang tua, dosen, teman-teman, bahkan pemerintah. Bangsa-bangsa di luar sana saja mengagumi ke-elok-an kebudayaan kita, mengapa kita tidak ? Perlu adanya kesadaran holistik dalam mendukung paduan suara kita, khususnya dalam membawakan lagu-lagu folklore, setiap kalangan harus bersatu padu menyukseskan setiap pertunjukan seni dan kebudayan, baik sebagai pelaku, penyelenggara, pemberi donatur, ataupun penonton demi identitas bangsa kita.

Tak Melulu “Kaku”
Jika semasa Sekolah Dasar kelompok aubade diwajibkan melipat jemari kedua tangan dengan jemari kiri berada di bawah dan diletakan di pinggang sebelah kanan, maka semasa kuliah akan sama sekali berbeda. Choirs are beyond my experience. Setelah saya melihat promosi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Universitas Mercu Buana saat masa Dunia Kampus dulu, saya terkejut dimana kelompok paduan suara tersebut menyanyikan lagu-lagu daerah dengan aransemen menarik dan tarian yang tak gampang. Sangat menarik sekaligus menyentil saya yang baru mengetahui kalau lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah setelah sang pemandu acara menyebutkannya. Ada Don Dap-Dape dari Bali, Luk-Luk Lumbu dari Banyuwangi, Marencong dari Bugis dan Tak Tong-Tong dari Minang. Penampilan mereka benar-benar di luar ekspektasi saya kala itu, hal itupun sontak menggugah sanubari saya untuk bisa menjadi bagian dari mereka dan turut serta melestarikan berbagai kebudayaan luhur yang menghiasi wajah pertiwi ini. Setelah serangkaian audisi dan resmi menjadi anggota paduan suara, pikiran saya terbuka bahwa ternyata masih banyak kalangan di Indonesia yang peduli akan peninggalan luhur, identitas bangsa, yang kita sebut kebudayaan. Pada setiap penampilan, kami diwajibkan menghapal lagu-lagu daerah dengan aransemen kontemporer dan gerakan-gerakan tari yang mendukung tiap syair di dalamnya. Sebuah pengalaman mengejutkan karena saya terbilang kaku dalam menari. Tapi tak pernah menyurutkan semangat saya untuk terus berlatih dan komitmen akan salah satu cara pelestarian budaya di tengah-tengah pemuda ini. Pernah suatu kali kami menampilkan lagu Tak Tong-Tong aransemen Ega O. Azarya dengan tarian yang mengharuskan kami menekuk lutut hingga hampir menyentuh lantai dengan tangan di atas kepala (seperti gerakan bela diri Minangkabau), kemudian diberikan sentuhan atraksi oleh koreografer yang juga mengharuskan salah seorang teman kami diangkat tinggi. Aransemen lagu yang menantang ditambah koreografi apik, membuat penonton tak segan berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah terhadap kami. Apresiasi itulah yang membuat kami tak henti merekahkan senyuman hingga meneteskan air mata. Dan yang pasti, enggan menghentikan “profesi” ini, Agen Misi Kebudayaan.

Ternyata, Tak Melulu Mulus
“Seleksi alam” anggota seringkali terjadi pada sebuah organisasi atau kelompok. Tapi, siapa sangka jika seleksi alam yang terjadi di paduan suara kampus kami justru karena jenis kegiatan yang dilakukan setiap hari oleh orang di dalamnya, yakni menari dan menyanyi, yang berimplikasi pada timbulnya stigma negatif bahwa anak laki-laki paduan suara cenderung ke-wanita-wanita-an atau bahasa kasarnya “banci” atau lemah. Karena hal itulah, anggota paduan suara angkatan 2010 yang awalnya berjumlah 33 orang, berkurang menjadi 23 orang hanya dalam kurun waktu 3 bulan. Mereka tidak ingat dengan jenis kebudayaan apa yang di-klaim oleh negara Malaysia, sebagian besarnya adalah lagu-lagu daerah dan tari-tarian. Lagu rasa sayange, soleram, injit-injit semut, kakak tua, anak kambing saya, hingga jali jali, sedangkan tari-tarian seperti tari pendet, tari piring, hingga tor-tor [1]
Masalah lain juga ikut menggerogoti perjalanan kami, yakni kesenjangan antara waktu latihan dan ijin orangtua serta dosen. Tidak sedikit orang tua kami yang mengatakan “kamu mama kuliahin untuk belajar, bukan latihan paduan suara terus” yang berujung pada tidak diperbolehkannya anak-anak mereka untuk latihan. Tak ayal, dosen kamipun mengatakan hal senada ketika kami memberikan surat ijin untuk mengikuti kegiatan paduan suara, “kampus tempat kalian kuliah, bukan ber-paduan suara”. Bapak Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa kebudayaan berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Maka mereka (orangtua dan dosen) yang mengatakan demikian sama sekali tidak menghargai zaman dan alam, berarti tidak menghargai perjuangan manusia. Saya yang kala itu menjabat sebagai ketua hanya bisa memotivasi anggota untuk kembali menghayati apa yang selama ini kita lakukan dan untuk siapa pengorbanan ini kita persembahkan. Ya, Indonesia. Mungkin, masalah-masalah tersebut pula yang bersemayam di banyak kelompok paduan suara di dunia, maka itulah saya menulis esai ini.

Tak Melulu Kalah
Saya yakin, tahun 2011 lalu sebagian dari kita geram melihat kekalahan telak Tim Nasional U-19 ketika melawan Vietnam, yakni dengan skor 1-6, padahal Negara Vietnam merdeka jauh setelah Indonesia merdeka. Saya yakin pula, hampir semua masyarakat Indonesia teriris melihat kekalahan telak Timnas dalam menghadapi Club sepak bola dunia seperti Arsenal (7-0), Liverpool (2-0),dan Chelsea (8-1). Parahnya, pemuda-pemudi kita semakin geram ketika masyarakat Malaysia mengejek Indonesia dengan “sadis” di youtube dan blog, jelas karena Malaysia hanya kalah 1-2 dengan Arsenal. Saya tidak bermaksud membandingkan prestasi tersebut dengan prestasi paduan suara di Indonesia. Saya hanya memberikan gambaran bahwa ada sekelompok orang yang berhasil mengharumkan nama Indonesia dengan sangat “menyengat” di ranah dunia dan ini wajib dibanggakan. Paduan suara Mercu Buana, Undip dan Unhas berhasil meraih Platinum untuk kategori Folklore pada Xinghai Prize International Choir Championship di Guangzhou - Cina, Paduan Suara Unpad dinobatkan sebagai juara Grand Prix pada 48th Montreux Choral Festival di Montreux – Swiss, Batavia Madrigal Singers yang menjadi pemenang pada International May Choir Competition Prof. Georgi Dimitrov di Varna – Bulgaria, yang merupakan bagian dari European Grand Prix (kompetisi paduan suara tersulit di dunia), prestasi yang saya sebutkan adalah di tahun 2012. Dan sejak dahulu, hampir tidak ada paduan suara Indonesia yang berkompetisi di luar negeri namun tidak menyumbangkan medali untuk Indonesia. Pakaian tradisional yang kami kenakan ketika berkompetisi Internasional pun menjadi incaran kamera para penonton. Pernah ketika saya bersama paduan suara Mercu Buana di Cina dengan mengenakan pakaian tradisional Bali, peserta dari negara lain memperhatikan kami dengan penasarannya dan pada akhirnya mengajak kami berfoto bersama. Mereka bilang “Your dress is beautiful and unique”, sontak perkataan mereka menghilangkan semua penat dan masalah yang pernah timbul di kala proses latihan kami. Tidak ada rasa malu ketika mengenakan pakaian tradisional di sana, yang ada hanya kebanggaan bahwa karya leluhur yang kami tampilkan di sana (luar negeri) membawa nama harum bangsa. Yang kami takutkan justru rasa malu yang timbul kala kebudayaan tersebut ditampilkan di negeri sendiri. Kenapa ? karena seringkali pertunjukan paduan suara di Indonesia mendapatkan apresiasi kerdil dari penontonnya, sudah jadi rahasia umum bahwa banyak warga kita, khususnya pemuda yang kurang mencintai seni dan kebudayaan Indonesia. Mereka lebih memilih menyaksikan konser Super Junior dengan tiket termurah Rp. 550.000 dibandingkan konser yang berisi lagu-lagu dan tarian daerah namun dengan tiket Rp. 50.000. Mungkin minimnya apresiasi tersebut karena sifat orang tua dan dosen-dosen kami yang memadang sebelah mata kegiatan seni dan kebudayaan ini.

Karena Profesi Kami, Agen Misi Kebudayaan
Jika melihat track record paduan suara di Indonesia, maka seyogyanya pemerintah memberikan perhatian penuh juga kepadanya, tidak melulu mengalokasikan dana besar untuk sepak bola nasional yang memungkinkan timbulnya benih korupsi. Karena selama ini saya merasakan bahwa pemerintah tidak sepenuh hati memberikan perhatian terhadap seni dan kebudayaan, mereka memberikan bantuan dana melalui Kemendikbud tidak hampir 50% dari total dana minimum kami selama di luar negeri, sisanya ? usaha sendiri. Selain itu, ketidakhadiran mereka dalam acara seni dan kebudayaan tersebut cukup melukai kami secara mental, seperti memberi sogokan beberapa rupiah pada anak kecil untuk mau ditinggal di rumah sendirian. Padahal dukungan itu harus diberikan secara komplit, tidak hanya materi tapi juga mental. Pemuda Indonesia jangan menganggap remeh mereka yang berlatih lagu dan tarian daerah, realitanya adalah mereka lebih berprestasi dibandingkan yang hanya kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Mahasiswa juga tidak hanya memiliki olah pikir dan olah raga saja, tetapi juga olah rasa yang bisa kita implementasikan kepada karya-karya leluhur. Pemuda wajib mencintai kebudayaan di saat yang tepat, yakni setiap hari, tidak hanya di saat kebudayaan kita diklaim oleh negara lain saja. Jika dalam lingkungan Universitas Mercu Buana saja yang berisi 18.695 mahasiswa aktif hanya 55 orang (jumlah anggota aktif paduan suaranya) yang percaya diri dan konsisten melestarikan kebudayaan Indonesia, maka bisa dibayangkan berapa mahasiswa yang berontak bahkan memaki Malaysia ketika pengklaiman terjadi. Jawabannya 18.640 mahasiswa. Mereka berontak karena sadar akan ketidakmampuan menjaga kebudayaan bangsanya, mereka malu dan melampiaskannya kepada pemerintah. Berikan keleluasaan berekspresi dan berprestasi bagi insan seni dan kebudayaan, perbanyak gedung-gedung pertunjukan agar tidak hanya Usmar Ismail, Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Tanah Airku saja yang bagus, itupun biaya sewanya sangat mahal, wajibkan setiap instansi pendidikan untuk memiliki kelompok seni dan kebudayaan yang aktif dan jangan lagi pandang negatif, wajibkan pula seluruh pegawai dan petinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghadiri setiap undangan sekolah atau mahasiswa. Rencanakan promosi terpadu untuk setiap kelompok seni yang akan tampil di dalam maupun di luar negeri, kemudian berikan apresiasi tinggi bagi kelompok seni yang mendapatkan prestasi di luar negeri, termasuk dana pendidikan bagi mahasiswa.
Perlu digarisbawahi, kami anggota paduan suara mahasiswa tetap bercita-cita sesuai dengan keinginan awal memasuki program studi di universitas, sebagai Hakim, Ahli Pajak, Reporter, Psikolog, Desainer, Dokter dan lain sebagainya. Namun, tidak kami sesali bahwa profesi kami menjadi ganda setelah menjajaki dunia berpaduan suara yang penuh dengan Tridaya (Cipta, Karya, dan Rasa) terhadap seni dan kebudayaan bangsa, karena profesi kami adalah Agen Misi Kebudayaan.



Daftar Pustaka

http://mercubuana.ac.id diakses pada 17-8-2013 pukul 16.00