Tuesday, April 29, 2014

LICIK!

-LICIK!-




“Lo kira ini Sherlock Holmes atau Detektif Conan?”
“HA HA HA HA” ruangan temaram dipenuhi tawa mencekam.
Di hadapan mereka yang tertawa, duduk seorang pria yang tak lagi berbaju. Rambutnya bercampur keringat hingga basah. Mukanya legam ke-ungu-an bersanding ke-merah-an darah. Namanya Pongah, simpatisan partai urutan 2 dari bawah.

“Kami memang selalu lebih cerdas dari kalian!”
“BUGGG!!” sekepal tangan mendarat di pipi kanan Pongah. Entah siapa dari ke-5 orang itu yang meninju Pongah.
“Kalo memang begitu, ceritakanlah bagaimana kalian mengganti kotak suara sementara semua mata tak berkedip dari kotak suara tersebut”

Semua tawa dan kekacauan mendadak sirna. Mereka tidak percaya Bos mereka mau meladeni kegilaan Pongah yang anta. Mendengar semua alasannya sama seperti mendengar keyakinan Darwin akan asal muasal manusia. Ya, monyet.
“semua mata memang tidak berkedip saat pemilihan berlangsung.” Pongah mulai bercerita, lantang bicara walau wajah luka-luka.
“Tapi bagaimana dengan beberapa jam sebelumnya? beberapa hari sebelumnya? Bahkan beberapa minggu sebelumnya?” lanjutnya.
Semua tercengang. Mereka baru sadar bahwa apapun bisa terjadi di waktu sebelum “perang”, apa saja mungkin direncanakan untuk bisa menang.
“Maksud lo, banyak rencana lo yang kami gak tahu?” Bos bertanya yang sesungguhnya tau apa jawabnya.

“maaf, sudah membuat kalian terlihat bodoh”
“BUGGG!!” sekepal ta...
“BUGGG!!” ...ngan satu dan sekepal tangan lainnya mendarat di masing-masing pipi kanan dan kiri Pongah. Mukanya semakin memerah. Dari bibir dan hidung mengalir darah.
“SOMBONG!!” Bos semakin marah. Matanya tajam memandang Pongah. Keberanian Pongah berkata, membuat bos ingin menghabisnya sekarang juga. Bos berbalik badan. Memandang seorang algojo sebelah kanan. Memberi kode untuk menghabisi Pongah seperti setan. Seperti menyerah, bos terus berjalan. Sementara beberapa algojo siap mengambil gerakan.
“Kami telah menggandakan seluruh kotak suara dan surat suara” secepat kilat kalimat itu mencuat. Kalimat itu membuat algojo dan Bos mematung.
“Lanjutkan!” Perintah si Bos.
“Kami mendapatkan informasi yang sangat detail dari salah satu rekan di KPU. Kami tahu bagaimana bentuk kotak dan surat suara tersebut. Apa bahannya dan bagaimana mereka membuatnya. Kami segera menduplikat semua kertas suara sejumlah warga yang ada di tiap TPS, kemudian mencoblosnya tepat di partai kami. Kami masukan ke dalam sejumlah kotak suara sesuai dengan jumlah TPS. Kemudian kotak suara yang sudah berisi surat suara yang telah dicoblos, kami masukan ke dalam mobil pengangkut. Berkat kerja sama yang baik antara kami dengan petugas pengantar dan polisi pengiring, VOILAA... Kotak suara kamilah yang terangkut ke dalam mobil pengangkut KPU dan digunakan di setiap TPS.” Pongah bercerita dengan cepat dan antusias.

Bos dan semua orang di sana mengernyitkan dahi. Apa itu totalitas yang asli?. Melakukan cara apapun demi target suara terlampaui.
“saat pencoblosan berlangsung, setiap warga tetap memasukan surat suara mereka ke dalam kotak suara. Surat suara palsu dan asli tercampur bukan?” Bos menyangkal skeptis. Seolah mendapat celah dari kebodohan cerita Pongah yang literalis.
“Semua orang di sini tentu pernah melihat sulap sebuah kotak yang awalnya kosong, tiba-tiba muncul bola ataupun benda lain dari dalamnya, bukan?” Pongah menjelaskan dengan tetap tenang. Tetap antusias namun sedikit senang. Senang karena ternyata lawan bicaranya benar-benar bodoh bukan kepalang.

Semua diam. Semua seolah membayangkan sejenak tentang trik sulap kubus yang dijelaskan. Mereka tersenyum kelam. Mungkin malu karena baru kepikiran. Terdiamnya mereka seperti menggambarkan kalau semuanya sudah jelas tanpa kesalahan.
Namun, Bos kembali tidak mau kalah. Dia terus mencari celah. tak hilang akal. Sekali lagi, Bos menyangkal.
“Ahhhh... Jumlah surat suara. Jumlah surat suara yang kalian masukan, tentu tidak akan sama dengan daftar pemilih yang hadir saat itu. Kalian tidak akan bisa memperkirakan berapa orang yang hadir.”
Pongah terdiam sebentar. Bukan. Bukan karena dia tidak tahu jawaban. Melainkan karena dia ingin menikmati kepuasan. Kepuasan akan prediksi sangkalan yang keluar bagai pertanyaan. Dan tentu saja, Pongah sudah mempersiapkan penjelasan.

“Tentu kami tidak bisa memperkirakan berapa warga yang hadir ke TPS. Tapi kami bisa membuat daftar hadir palsu yang berisi paraf palsu berjumlah sama persis dengan jumlah surat suara yang ada di dalam kotak suara. Dan saat break makan siang, kami tukar dengan yang asli. Itulah keuntungan kami meletakan begitu banyak simpatisan untuk jadi panitia Pemilu”
“LICIK!” satu kata yang keluar dari mulut bos dipenuhi kegeraman.
“TRICK! Ini TRICK!. Setiap partai pasti LICIK. Hanya TRICK yang membedakannya” Pongah menjelaskan.
Bos memberikan kode kembali kepada algojo sebelah kanan. Dia pergi begitu saja seperti setan. Diiringi teriakan Pongah yang menggetarkan ruangan. 
“ARRRRGGGHHHHHHHHH........”


-The End-

Senyum dan Peluk




Malam ini saya menyaksikan wajah-wajah ceria yang sayup sayup juga terdengar ambiance kekecewaan. Paduan Suara Universitas Mercu Buana (Mercu Buana Choir), organisasi yang telah membesarkan “nama” saya (maaf, berlebihan) baru saja mengadakan audisi untuk tim kompetisi luar negeri, di Barcelona, Paris....

WAIT!! Kalian tidak perlu bilang “WOOWW” dulu. Di dunia paduan suara, kompetisi hingga ke belahan bumi Eropa tuh sangat “biasa”. Yang buat ini tidak biasa adalah, Compete to Europe is definitely the first experience for Mercu Buana Choir. Singakat cerita, lebih dari 50% dari anggota aktif tidak lolos audisi, dan lebih dari 20% dari mereka sudah berkali-kali tidak lolos audisi untuk kompetisi internasional. That underline statement is thing i concern the most.

Anda tahu yang mereka rasakan?
Anda tahu yang orang tuanya rasakan?

Wajah mereka sembab penuh kekecewaan, muram durja bagai tak ada lagi esok pagi. Sebagian dari mereka bahkan bukan orang-orang yang malas latihan. Vice versa, bahkan ada yang jauh lebih rajian latihannya dibanding yang lolos. Saya tidak tahu lagi, wejangan ataupun quote apalagi yang bisa menguatkan mereka. Saya tidak tahu lagi, seberapa erat pelukan yang bisa menenangkan mereka. Yang saya tahu, kekecewaan mereka melebihi ketinggian gunung kelud dan kedalaman laut cina selatan.

WAIT!! Bagaimana dengan yang lolos? Ya...... seperti kebanyakan, mereka tertawa sumringah, bersyukur dan bersukaria, we know that they deserve it. Tapi mereka ber-euforia berlebih hingga sebagian lupa,,,,,, bahwa banyak wajah yang tidak bisa menerima keceriaan mereka, atau paling tidak belum bisa ikut ceria akan “kemenangan” mereka.
Pada posisi ini, tentu kita akan canggung dan bingung harus bertingkah bagaimana. Dulu, saat saya belum menjadi alumni di sana, yang saya lakukan hanya memberikan senyuman tulus dan memeluk mereka yang tidak lolos. Kami berdua sama canggung, tapi kami pasti sadar, hanya itu yang bisa dilakukan.

Satu hal yang saya seringkali lakukan saat menang, selalu lebih dulu posisikan diri sebagai mereka yang tidak menang dan bersyukurlah sesederhana mungkin, jika ingin ber-euforia, cukuplah bersama mereka yang bernasib sama.
Buat teman-teman yang belum lolos, coba liat pengalaman 2 orang hebat ini:

Regina Indonesian Idol: 7 kali tidak lolos audisi Indonesian Idol, sekalinya lolos, Tuhan memberikannya tempat terbaik, yakni Juara.

Thomas Alpha Edison, penemu bola lampu yang pernah berkata “I have not failed. I’ve just found 10.000 ways that won’t work”


Semoga setiap kegagalan membentuk perspective yang baru bagi kita atas kesuksesan. Amin